Memory Card (Cerpen Part 1)
Bobby terbaring lemas
tak berdaya di atas kasurnya. Menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan
kosong. Tangan kanannya menggenggam sebuah memory card berwarna hitam yang mempunyai
kapasitas cukup besar. Dia tak tahu harus berfikir seperti apa, semuanya terlalu
abstrak. Bahkan tak ada yang bisa dia fikirkan.
Dia melihat memory card
yang sedari tadi ada dalam genggamannya. Menarik nafas dalam-dalam dan kembali
menggenggam kuat memory card itu. Hatinya seperti tersayat-sayat benda tajam.
Dia terus berusaha agar tak ada satu tetespun air mata keluar dari pelupuk
matanya.
Dia melirik jam dinding
berwarna silver yang telah menunjukkan pukul 8 malam. Berdiri dan menghadapkan
tubuhnya ke sebuah cermin persegi panjang berukuran 120x50 cm, masih dengan
seragam SMA kebanggaannya.
“Seharusnya aku mampu
berdiri tegak seperti ini dihadapannya” Kata Bobby melihat pantulan dirinya
yang sangat kusut terlukis di cermin.
Dia menyalakan notebook
putihnya, memasukkan memory card dengan dengan perantara card reader. Tak ada
virus yang terdeteksi. Dilihatnya satu persatu gambar yang terdapat di memory
card itu. Terhenti di sebuah gambar ketika dia satu tugas dengan Novi. Gambar
itu diambil 3 bulan yang lalu, tepatnya tanggal 5 Februari 2012.
*****
5 February 2012
“Ok selanjutnya seksi
terakhir yaitu seksi Dokumentasi, koordinatornya Bobby” Kata Adnan yang
berjabat sebagai ketua acara. “Iya, siap” Kata Bobby dengan sedikit anggukan
kepala dan menyembunyikan kamera digitalnya. Novi menatap sinis, sejujurnya dia
tidak pernah suka tingkah Bobby walaupun pada kenyataannya dia tidak dekat
dengan Bobby, bahkan jika dia ngobrol
dengan Bobby pun tidak pernah lebih dari 10 detik. “Novi, kamu bagian seksi
Dokumentasi juga ya!” Lanjut Adnan. “hah?” Novi menganga tak percaya.
Rapat penentuan jabatan
selesai, satu persatu panitia bubar. “Adnan!” Novi berteriak memanggil dan
berlari kecil mengejar. “Kenapa aku harus ada di seksi dokumentasi? dan..
bersamanya pula!” Novi bertanya sambil mengkerutkan alis dan memasang wajah
kesal. “Kamu dan dia sekelas. Aku yakin pastilah kalian akur, itu juga
mempermudah kamu untuk berkomunikasi.” Kata Adnan, “Tapi, kenapa dokumentasi
hanya aku dan dia?” Novi kembali bertanya. “Kerjaan seksi dokumentasi hanya
kerjasama dengan photo studio, membuat desain ID card, dan menggambil gambar
saat acara, aku rasa dua orang juga cukup. kan nanti kita bakal dapat bantuan
dari photo studio kan?” kata Adnan dengan penuh keyakinan di setiap katanya. “oh
gitu..” kata Novi menunduk lemas. Apalagi yang bisa dia lakukan? Alasan yang
dia terima terlalu jelas.
*****
Bel pulang berbunyi,
otak seluruh siswa kembali segar. Empat hal yang paling menyenangkan dari
sekolah yaitu ketika guru berhalangan
hadir, dapat info libur, bel istirahat, dan bel pulang. Pada dasarnya dari sekian
banyak peraturan yang berlaku di sekolah, siswa hanya peka pada bel istirahat
dan bel pulang.
Bobby berdiri di depan
pintu kelas, memperhatikan sekeliling lingkungan sekolah yang dapat terlihat.
“Pulang yuk!” ajak Fahri. “Duluan aja, lagi nunggu Novi nih.” Jawab Bobby
memberikan senyum lebar. “akhirnya temanku ini sudah dewasa” Kata Fahri sambil
meninju pelan pundak Bobby dan pergi.
Bobby memperhatikan
seisi kelasnya, terlihat Novi seperti tertidur didalam kelas. Gina menghampiri
Novi dan membantu membawakan tasnya. Bobby merapikan rambutnya yang berantakan
dan mengatur nafas berusaha untuk tenang.
“Vi, sekarang ke photo
studio ..” Belum sempat Bobby melanjutkan ucapannya, Novi memotong “Nanti aja
deh!”kata Novi dengan wajah kesal. “Tapi, nanti aku harus ngasih laporan
gimana..” Kata Bobby yang sudah tak aneh dengan sikap Novi kepadanya. “Urus
saja sendiri!!” bentak Novi. Gina yang posisinya diantara kedua teman
sekelasnya itu tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi dia ingin menjelaskan
kepada Bobby kalau Gina sedang sakit, tapi disisi lain dia juga tau posisi
Bobby dan Gina dalam acara besar sekolahnya.
Kali ini Bobby tidak
bisa mentoleransi sikap Novi kepadanya. Dia mengambil tas Novi yang berada di
tangan Gina, dan menarik paksa Novi untuk ikut dengannya. Dia terus menarik
tangan Novi, tanpa dia sadari seluruh penghuni sekolah memperhatikan
tingkahnya. Novi berusaha melepas genggaman tangan yang terus menariknya, tapi
genggaman itu terlalu kuat.
“Lepas!!” teriak Novi
kesakitan. Bobby menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang sekolah dan
melepaskan tangan Novi. “Tolong, bisakah kali ini kita kerjasama?” kata Bobby
mengembalikan tas yang dia rebut. “Aku..” tak sempat Novi melanjutkan
bicaranya, Bobby memotong “Kamu mau bilang sakit? Sudah lebih dari 10 kali aku
mendengar alasan seperti itu!” kata Bobby yang sudah tak mampu menahan
amarahnya.
Di tengah perselisihan
itu, Novi terjatuh menahan sakit yang menyiksa perutnya. Terlihat air mata
keluar dari pelupuk matanya. Beruntung Gina cepat tanggap. Reflek Gina langsung
menolong Novi dan menggotongnya menuju UKS sekolah. Bobby dengan tatapan tidak
tahu-menahu hanya melihat Novi kesakitan. “Tolongin dong!” Gina panik.
Sebuah tamparan keras
mendarat di pipi kanan Bobby. Dia mencoba menolong tanpa mempedulikan tamparan
itu. “Pergi!” usir Novi. Bobby bersikeras untuk menolong Novi. “Pergi! Jangan
pernah muncul lagi!” usir Novi yang kedua kalinya. Dia menatap mata Novi yang
menunjukan kebencian besar kepadanya. “Maaf” katanya yang perlahan meninggalkan
Novi. “Bodoh!” Novi dan berusaha menahan sakitnya.
******
Comments
Post a Comment